Rezeki

“Aku tahu, rezekiku tak akan diambil orang, karenanya hatiku tenang. Aku tahu, amalku tak akan dikerjakan orang, karenanya kusibuk berjuang.”

(Hasan Al-Bashri)

Saya sedang menunggu.

Menunggu sambil berdiri melamun di bawah atap sebuah toko, menghadap ke trotoar, ke sebuah jalan besar. Madinah saat itu silau. Kemarau. Anginnya bertiup-tiup kering. Dan seekor burung tiba-tiba saja mendarat di depan saya. Di bawah trotoar, di pinggir keroak jalanan yang digenangi air. 

Lamunan saya terhenti.

Lamat-lamat memperhatikan burung merpati berwarna abu-abu itu minum dari ceruk jalanan. Haus sekali tampaknya. Sekali teguk, dua kali, tiga kali. Kemudian setelah dirasa cukup, ia kembali terbang.

Sudah. Begitu saja.

Harusnya memang begitu saja. Tetapi, bagi orang yang sedang mempertanyakan mengenai pintu-pintu rezeki, kejadian itu sungguh merupakan sehalus-halus tempelengan.

***

Melalui perspektif-perspektif duniawi, ada orang-orang yang protes, karena hidupnya–dan hidup manusia lainnya–tidak bisa serempak dimulai dari titik nol saja. Biar adil. Biar ketahuan mana yang berusaha, mana yang melela.

Ketika lahir, manusia tertakdir untuk mengambil garis start dari posisi yang berbeda. Manusia-manusia tumbuh dalam asuhan orang tua yang tak sama. Akses kepada kesempatan yang tak serupa. Tempelan identitas masing-masing.

Ketidakpastian dan perbedaan itu membuat manusia bermatematika. Matematika dunia. Menghitung langkah-langkah rasional yang diperlukan untuk mencapai tingkat hidup yang didamba. Terkadang sampai lupa bahwa matematika manusia tidak selalu tepat. Dan jika meleset, jatuh kecewa.

Kita adalah manusia akhir zaman. Keturunan Adam yang kekhawatirannya pernah disabdakan oleh Rasulullah, “Anak Adam berkata, ‘Hartaku! Hartaku!'”

“Padahal sesungguhnya,” lanjut Rasulullah, “Harta yang dimilikinya hanyalah apa yang dimakannya hingga habis, apa yang dipakainya hingga usang, dan apa yang ia sedekahkan hingga menjadi miliknya seutuhnya.” (HR Imam Muslim, Ahmad, dan At-Tirmidzi).

***

Seorang teman pernah bercerita mengenai keberkahan pada tiap-tiap manusia. Dengan waktu yang sama-sama 24 jam, seseorang bisa tilawah lebih banyak dan menyelesaikan tanggung jawabnya. Atau tilawah lebih banyak tetapi tidak memenuhi tanggung jawabnya. Atau tilawah sedikit dan menyelesaikan tanggung jawabnya. Atau bahkan bubar jalan, terbengkalai semuanya dunia dan akhiratnya.

Teman yang lain bercerita tentang keberkahan pada harta. Sama-sama PNS golongan II/c, misalnya, tetapi bisa saja yang satu punya harta bermewah-mewah dan yang lainnya harus bersederhana-sederhana. Namun di balik kondisi itu, jangan-jangan ketentraman keluarganya juga bertolak belakang.

Mungkin memang rezeki bukan soal seberapa banyak, seberapa cepat, atau seberapa mudah. Ia, bisa jadi, seperti yang Ustaz Salim katakan, “Rezeki adalah nikmat yang kita rasa.”

Hidup. Mati. Harta. Jodoh.

Semua telah dijamin. Tertulis di langit, ditiupkan ke dalam ruh. Tiada tertukar. Tidak akan terlambat. Karena rezeki adalah ketetapan. Cara menjemputnyalah yang ujian.

Maka bolehkah kita jatuh kecewa jika matematika kita melenceng? Jika ternyata hukum-hukum rasionalitas kita tidak berlaku?

Allah menjawab melalui sebuah hadits qudsi, “Wahai anak Adam, beribadahlah kepada-Ku sepenuhnya, niscaya akan Kupenuhi hati kalian dengan kekayaan dan Kupenuhi kedua tangan kalian dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan menjauh dari-Ku sehingga akan Kupenuhi hati kalian dengan kefaqiran dan Kupenuhi kedua tangan kalian dengan kesibukan.”

Yakin saja. Allah tahu masa depan yang manusia tidak tahu. Allah yang menggenggam takdir dan waktu. Dan berdoalah agar setidaknya tangan kita tidak ditumpahi oleh rimbunan kesibukan yang sia-sia. Berdoalah dengan khauf dan raja. Karena menurut Umar bin Khaththab, ketika Allah mengilhamkan hamba-Nya untuk berdoa, maka Allah sedang berkehendak untuk memberi karunia.

“Hamba-hamba yang lalai berjuang keras terhadap rezeki yang sudah dijaminkan, tapi mereka mengabaikan taat yang telah diwajibkan.”

Iya. Yakin saja sambil terus taat.

Dan, jujur, perihal yakin jugalah yang membuat fragmen mendaratnya burung merpati di pinggir jalan Madinah itu, begitu menempeleng. 

Merpati itu bermudah-mudah membasuh dahaga. Ia tak berlebihan dalam meminum air di cerukan. Tenang sekali, seakan tahu rezekinya tak akan diambil orang. Tenang sekali, seperti tahu bahwa hausnya akan segera hilang.

Dan setelah selesai, sayap merpati itu terkembang. Mungkin langsung kembali berdzikir, memuji penciptanya dengan penuh ketaatan.

“…dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah.” (QS Shaad:19).

Leave a comment